Sunday, June 13, 2010

Hakikat Kematian

Hakikat Kematian
Imam Abu Hamid Al-Ghazali menjelaskan bahawa kematian sebenarnya hanyalah perubahan kondisi yang dialami roh dari memiliki kuasa penuh atas jasad kepada kehilangan kuasa itu. Roh yang sebelumnya dengan berleluasa menggunakan mata untuk melihat, kaki untuk berjalan, telinga untuk mendengar dan semua anggota jasad yang lain sebagai alat bantunya, pada saat ini ia tidak mampu melakukannya lagi. Jika penyakit lumpuh adalah kehilangan kendali atas sesebuah anggota badan, maka maut adalah lumpuh yang menimpa seluruh anggota badan.
Apabila hal itu terjadi, ia bagaikan orang yang baru bangun dari tidur panjang dan tersingkap di depan matanya hakikat-hakikat yang selama ini ia lalaikan. Hakikat yang pertama kali dia dapat melihat semua amalan yang dilakukan selama hidup berserta balasan yang dijanjikan.
Jika amalan yang dilakukan selama ini baik, maka ketenangan dan kegembiraan segera memenuhi hatinya. Malaikat Maut datang kepadanya dengan penampilan yang menyejukkan sambil membawa jemputan Ilahi, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diredai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam syurga-Ku.” (Al-Fajr: 27-30).
Rohnya segera keluar dari jasad dengan mudah tanpa sebarang seksaan. Malah bagi orang tertentu, maut adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang merasa terpenjara di dunia yang sempit ini sejak lama dan menunggu hari pembebasan dengan tidak sabar.
Bagi mereka, maut adalah gerbang kebebasan yang akan membawa ke alam yang penuh keindahan dan menjumpai kekasih yang dicintai. Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash berkata, “Perumpamaan seorang mukmin yang melepaskan rohnya ibarat seseorang yang tertawan di dalam penjara lalu dibebaskan daripadanya.” Abu Darda ra berkata, “Aku mencintai kematian kerana rinduku kepada Tuhan.” Rabi’ bin Khaitsam berkata, “Tidak ada sesuatu yang ditunggu-tunggu mukmin yang lebih baik daripada kematian.”
Imam Al-Ghazali berkata, “Kelazatan terbesar ditemui para syuhada yang terbunuh di jalan Allah. Sebab mereka tidak maju ke medan perang melainkan setelah memutuskan segala hubungan dengan dunia dan sangat merindui berjumpa dengan Allah s.w.t.”
Kisah-kisah tentang hal ini sangat banyak, salah satunya diriwayatkan Al-Hafiz Abu Nu’aim dalam “Hilyat Al-Awlia” dari Hatim Al-Asham, “Suatu ketika kami bersama Syaqiq Al-Balkhi dalam suatu peperangan melawan bangsa Turki. Hari itu sangat mengerikan, kepala banyak yang berterbangan dan pedang-pedang banyak yang patah. Syaqiq bertanya kepadaku, “Bagaimana perasaanmu saat ini? Demi Allah, perasaanku saat ini sama seperti perasaanku pada malam pengantin.”
Perhatikan juga kisah yang diriwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal dari Said bin Abdul ‘Aziz Al-Tanukhi, “Tidak ada orang yang pernah melihat bidadari dalam keadaan sadar (tidak bermimpi) selain Abu Mukhramah. Suatu hari ia pergi untuk suatu hajatnya. Tiba-tiba ia melihat seorang bidadari di dalam sebuah kubah, di atas tempat tidurnya. Ketika melihatnya, Abu Mukhramah segera memalingkan wajah. Bidadari itu segera berkata, “Datanglah ke sini, wahai Abu Mukhramah. Aku isterimu dan ini isteri fulan.” Ia kemudian kembali kepada teman-temannya dan menceritakan hal itu. Mereka segera menulis wasiat kemudian mati syahid bersama-sama.”
Meski begitu, sebuah hadis menceritakan bahawa maut tetap menyakitkan dan pedihnya masih terasa hingga bertahun-tahun kemudian. Imam Ahmad meriwayatkan dalam bahagian “al-Zuhd”, daripada Jabir bin Abdillah bahawa Rasulullah s.a.w. bercerita tentang sekelompok orang dari Bani Israil yang mendatangi sebuah perkuburan. Mereka berkata, “Mari kita solat dua rakaat lalu berdoa agar Allah mengeluarkan seseorang yang telah mati untuk kita tanyakan kepadanya tentang kematian.” Mereka lalu melakukan usulan tersebut. Tiba-tiba, seorang lelaki mengeluarkan kepalanya dari kubur. Di dahinya terlihat tanda sujud. Ia berkata, “Apa yang kalian inginkan dariku? Aku mati seratus tahun lalu, namun pedihnya masih aku rasakan hingga saat ini. Mintalah agar Allah mengembalikan aku ke tempatku semula.”
Jika seperti itu keadaan orang yang mati dalam iman, kita tidak dapat membayangkan terseksanya orang yang mati sambil membawa amalan yang buruk apatah lagi kekafiran, na’uzu billah. Namun kita dapat memperkirakan bahawa hatinya pasti dipenuhi kengerian. Dengan sekuat tenaga ia memekik dan melawan agar tidak keluar dari jasad, namun Malaikat Maut jauh lebih kuat darinya.
Sekuat apa pun perlawanan dan pekikan yang dilaungkan, ketentuan Allah tidak dapat dirubah. “Andai engkau melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata): Rasakanlah seksa yang membakar. Hal ini demikian disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-Nya.” (Al-Anfal:50-51).
Mereka adalah orang-orang yang hatinya telah menyatu dengan dunia dan melupakan akhirat sama sekali. Sehingga ketika masa perpindahan tiba dan negeri akhirat diperlihatkan, mereka menolak untuk berpindah ke tempat yang baru. Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik pernah bertanya kepada seorang ulama tabiin yang bernama Abu Hazim Salamah bin Dinar, “Mengapa kami takut mati?” Abu Hazim menjawab, “Karena kalian memakmurkan rumah kalian di dunia dan meruntuhkan rumah kalian di akhirat. Maka kalian takut berpindah dari kemewahan kepada reruntuhan.”

Mengingat Kematian
Mengingat kematian akan mendorong seseorang mempersiapkan diri untuk perjalanan ke akhirat. Dan hal itu menjadi faktor utama yang mendorong dirinya untuk melakukan perbuatan mulia sekali gus menjadi penghalang daripada tercetusnya perbuatan tercela. Oleh sebab itu, Rasulullah s.a.w bersabda, “Perbanyaklah mengingati penghancur kelazatan, iaitu maut.” (HR Ibn Hibban). Dari Syaddad bin Aus bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Orang yang pandai ialah orang yang selalu memeriksa dirinya dan bekerja untuk kehidupan setelah mati.” (HR Al-Tirmidzi).
Ibn Al-Mubarak meriwayatkan dari Malik bin Mighwal (Imam Ahmad meriwayatkannya dari Ibn ‘Uyainah), “Seorang laki-laki pernah dipuji di hadapan Rasulullah s.a.w. lalu Baginda bertanya, “Apakah ia sering mengingati kematian?” Mereka menjawab, “Tidak selalu.” Baginda berkata, “Orang itu tidak layak dipuji.” Riwayat ini mursal.
Mengingati kematian telah mewarnai kehidupan tokoh ulama, sahabat dan tabiin. Oleh sebab itu, Abdullah bin Mas’ud pernah marah kepada orang yang dilihatnya tertawa ketika menghantar jenazah. Ia berkata, “Kau tertawa ketika menghantar jenazah? Aku tidak akan berbicara denganmu selama-lamanya.” Zuhair Al-Aqtha berkata, “Setiap kali Ibn Sirin mengingatkan kematian, semua anggota tubuhnya seakan lumpuh.” Qubaisah bin ‘Uqbah berkata, “Setiap kali aku duduk bersama Sufyan Al-Thauri, aku selalu mengingati kematian. Sebab tidak ada orang yang lebih banyak mengingat kematian daripadanya.”
Lebih hebat dari itu, Imam Al-Dzahabi bercerita tentang Rib’ie bin Khirasy Al-Ghatafani, seorang ulama tabiin yang bersumpah tidak akan tertawa hingga ia mengetahui apakah dia seorang penghuni syurga atau penduduk neraka. Sejak itu, ia tidak pernah dilihat tertawa hingga pada hari dicabut nyawanya. Pada hari kematiannya itu, wajahnya terlihat tersenyum. Kisah yang serupa diriwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab “Al-Zuhd” terjadi pada diri Ghazwan Al-Kufi.

Sunyi
Setelah seluruh alam semesta ini hancur tidak tersisa, hanya kesunyian yang memenuhi alam ini. Al-Quran menceritakan bahawa pada hari itu, Allah s.w.t. melipat langit dan bumi seperti lipatan buku lalu berkata, “Siapakah yang paling berkuasa hari ini?” Tidak ada jawaban. Lalu Allah sendiri yang menjawab, “Allah yang Maha Esa dan Maha Kuat.” (Al-Ghafir:16).

No comments: